Bagi saya, ini jauh dari itu. Saya masih ingat sekali ketika di akhir tahun 2005 itu saya ambruk ketika keluar dari mobil di garasi rumah dan mendadak tidak sadarkan diri.
Sedikit saya ceritakan, saya dibesarkan di tengah keluarga yang harmonis dan ada dalam golongan kelas menengah. Orang tua saya mempunyai posisi di salah satu instansi pemerintah dan kerap kali berpindah-pindah tugas untuk menempati posnya di beberapa daerah di Indonesia.
Sejak tahun 1994, saya ikut-ikutan beberapa rekan sekomplek yang menggunakan putaw. dari awal mula hanya mencoba, kemudian berlanjut sampai dengan konsumsi putaw saya mencapai 1-1,5 gram perhari. Saya menggunakan putaw ini dengan cara disuntik dan ketika sekarang saya ingat-ingat kembali, di tahun-tahun awal itu, sama sekali saya belum pernah dengar tentang informasi HIV dan AIDS serta bagaimana saya serta kelompok saya yang menggunakan putaw dengan cara disuntik bisa terhindar dari infeksi virus ini. Di saat itu, akibat tidak adanya informasi HIV kepada pengguna narkotika, serta mungkin juga dipengaruhi oleh kecanduan saya untuk mendapatkan segala sesuatunya dengan cepat maka membuat saya dan teman-teman dengan santainya bergantian menggunakan jarum suntik.
Di tahun-tahun awal itu, jangankan program pembagian jarum suntik steril, layanan bagi pemulihan ketergantungan narkotika pun masih sangat minim. Jika pun ada, biasanya hanya terpusat di Jakarta dan biayanya sangat mahal. Jikalau ada pun di daerah, biasanya menyatu dengan rumah sakit jiwa..
Tahun demi tahun berlalu dan kondisi saya selalu dalam keadaan fit, saya tidak pernah sakit sampai dengan di akhir tahun 2005 itu saya ambruk di garasi setelah keluar dari mobil.
Sejak ambruk pertama itu, kondisi kesehatan saya semakin memburuk. Orang tua saya yang juga tidak tahu apa-apa mengenai HIV berpikir bahwa kondisi saya buruk diakibatkan penggunaan putaw saya yang sudah di luar batas. Saya diare dan mulai rutin kejang-kejang. Kondisi saya semakin memburuk sampai di malam berikutnya, saya ambruk kembali tidak sadarkan diri.
di saat saya ambruk ini, ayah saya kemudian memutuskan untuk membawa saya ke rumah sakit. Jika saya menginggat masa itu, timbul rasa kagum saya dengan ayah saya. Dia yang sudah hampir lebih dari 5 tahun tidak dibolehkan menyetir mobil dikarenakan kondisi fisiknya, karena malam itu tidak ada sopir, kemudia nekat menyetir mobil demi membawa saya ke rumah sakit.
Di UGD sebuah rumah sakit besar di Surabaya, saya sempat ditelantarkan oleh petugas disana. Karena kebetulan dengan bantuan beberapa kenalan keluarga, saya kemudian bisa segera mendapatkan pelayanan. Kondisi saya saat itu mulai drop dan tidak sadarkan diri. Saya merasa seribu satu jarum dimasukkan ke tubuh saya dan entah sudah berapa botol infus berbagai macam warna yang masuk ke dalam tubuh saya.
Beberapa dokter kemudia memberitahu kelauarga bahwa harapan hidup saya sudah tipis dikarenakan dikuatirkan ada kuman tokso yang sudah bersarang di kepala. Mama kemudian marah dengan dokter karena tidak ada yang tahu akhir hidup seseorang kecuali Tuhan.
Berbagai macam layanan terbaik dan dokter dari beberapa rumah sakit pun kemudian didatangkan untuk memeriksa saya. Harapan hidup sudah semakin tipis. antara sadar dan tidak sadar, sayu pun berhalusinasi sudah ada ‘orang’ yang mau menjemput saya. Hatiku Menangis tanpa suara, hanya tetesan Air mata... Hanya Doa yaang kupanjatkan tanpa Suara.
Akhirnya Mujizat Tuhan Menyertai Hidupku dan Sehat Sampai Sekarang...
0 komentar:
Post a Comment