Entah bagaimana Peraturan yang telah di buat oleh negara ini, yang saya lihat hanyalah semakin lucu jika di cermati, KPK vs POLRI, AHOK vs DPRD, JOKOWI vs LUAR NEGERI... Semuanya hanyalah peristiwa yang semakin memperlihatkan Kebobrokan System jaman dulu sebelum nama JOKOWI dan AHOK berkibar...
Nah disini yang akan saya bahas adalah Masalah Management Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ( APBD ) system Peraturan inilah yang saya bilang KOPLAK....
Dalam Sebuah perancanaan Management APBD tiap Tahun mengalami Sisa, alias anggaran Tahun lalu tidak habis, sehingga menyebabkan Nilanya makin besar, nah Jika memang Tahun lalu masih Ada Sisa APBD kenapa bikin APBD yang baru??? apakah agar bisa Korupsi??? mungkin inilah Tujuannya agar Tiap Tahun antara Oknum DPRD dan Pemerintah Daerah bisa konsiprasi membuat kesepakatan serta celah untuk melakukan Korupsi uang Rakyat...
Sering saya bilang banyak Calon anggota DPRD masuk rumah sakit sehabis dilakukan Pemilu mereka Stress berat sudah habis uang banyak tapi gagal jadi anggota DPRD, dan Saat sekarang Oknum2 anggota DPRD juga sudah banyak yang binggung karena sytem Pemerintah Eksekutif yang susah diajak Konspirasi contohnya AHOK, dia melawan anggaran anggaran yang kurang bermanfaat dan bisa membuat celah korupsi, maka Oknum-oknum anggota DPRD pun pada mulai berteriak, karena kesulitan korupsi so uang modal kampanye susah balik dong itu yang mereka pikirkan.
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenny Sucipto mengatakan asumsi terjadi kongkalikong antara eksekutif, legislatif, dan pengusaha "hitam" dalam proses penyusunan anggaran terjadi di hampir semua daerah. Bukan hanya terjadi di Jakarta saja dalam kisruh penyusunan APBD tahun ini.
"Kalau ada titipan di luar kebijakan program, itu disebut siluman. Di sini eksekutif, legislatif, dan pengusaha hitam biasa terlibat," ujar Yenny dalam diskusi di Cikini, Sabtu (7/3/2015).
Yenny memberi contoh mengenai pengadaan uninterruptible power supply (UPS) yang telah ada sejak tahun-tahun sebelumnya. Seharusnya, tidak terjadi kesalahan dalam proses pengadaan ini seperti yang mencuat saat ini.
Akan tetapi, yang terjadi justru adanya dugaan anggaran siluman dalam pengadaannya di APBD tahun ini. Yenny mengatakan itu adalah bukti bahwa terjadi kongkalikong antara eksekutif dan legislatif.
Yenny menegaskan eksekutif dan legislatif sama-sama telah mengeluarkan dana kampanye untuk mencapai posisinya saat ini. Menurut Yenny, dalam beberapa kasus yang diteliti Fitra, kasus korupsi yang terjadi pada tahap perencanaan anggaran oleh eksekutif dan legislatif ini sekaligus upaya untuk mengembalikan dana kampanye masing-masing pihak.
Bisa saja, lanjutnya, pihak eksekutif atau legislatif disponsori oleh perusahaan tertentu saat masa kampanye mereka. Kemudian setelah menang, perusahaan tersebut menuntut untuk menjadi pemenang tender suatu proyek.
Demi membayar "utang" kepada sponsor kampanye mereka, akhirnya perusahaan itu pun mendapat tender. Praktik itu membuat wajar jika ditemukan perusahaan pemenang tender yang tidak jelas.
Hal senada juga disampaikan pengamat ekonomi kebijakan publik, Ichsanudin Noorsy. Hal yang umum terjadi di berbagai daerah ini adalah efek penerapan demokrasi transaksional. Untuk mencapai sebuah posisi politik, diperlukan dana yang besar.
"Ini bagian dari demokrasi transaksional. Tidak ada yang berkampanye tapi tidak pakai uang. Suka tidak suka, dalam demokrasi transaksional, dua-duanya keluar biaya
0 komentar:
Post a Comment