google.com, pub-8188148496257160, DIRECT, f08c47fec0942fa0
Translate this page to the following language!

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified


Belajar Forex Gratis

Penculikan Aktivis ‘98

Soal penculikan aktivis ‘98, ada dua hal yang kita tahu pasti. Pertama, 23 aktivis telah dihilangkan paksa. 9 diantaranya dilepas, 13 masih hilang, dan 1 ditemukan tewas. Kedua, buntut dari kejadian tersebut, Prabowo Subianto diberhentikan dari TNI (dulu ABRI).

Lewat artikel ini, saya ingin mengembangkan diskusi tentang Prabowo supaya kita tidak sekadar berdebat apakah Prabowo menculik atau tidak menculik. Saya mengumpulkan dan menyatukan kesaksian Prabowo dan 7 orang korban penculikan: Andi Arief, Pius Lustrilanang, Nazar Patria, Rahardjo Waluyodjati, Mugiyanto, Aan Rusdianto, dan Faisol Reza. Dengan demikian kita mendapat gambaran yang terpadu tentang kejadian penculikan ‘98.

Data menunjukkan bahwa Prabowo memang terlibat dalam penculikan 9 aktivis. Ketika dalam penyekapan, beberapa korban sempat berkomunikasi dengan 3 aktivis yang hilang. Walaupun begitu, Prabowo merasa penculikan terhadap orang-orang Indonesia merupakan tindakan yang secara moral tidak bersalah. Di akhir artikel, saya mendiskusikan bagaimana kita seharusnya memaknai keterlibatan Prabowo.

Keterlibatan Prabowo dalam Penculikan

Pada wawancara dengan majalah Panji edisi 27 Oktober 1999, Prabowo mengaku bertanggung jawab atas penculikan 9 aktivis pro-demokrasi. Awalnya, Prabowo menerima daftar pencarian 28 orang aktivis radikal. Pimpinan TNI juga mengetahui keberadaan daftar tersebut.

“Saya memang terima satu daftar untuk diselidiki. Jadi, untuk diselidiki. Bukan untuk diculik.”

Testimoni Prabowo juga menyiratkan bahwa daftar tersebut berasal dari Suharto:

Majalah Panji: Anda tidak tanya pada Pak Harto daftar itu didapat dari mana?

Prabowo: Tentu saya tanya.

Dalam perkembangannya, penyelidikan itu berubah menjadi penghilangan paksa. Korban-korban mengaku diculik, diteror, dan disiksa. Prabowo mengatakan bahwa menculik adalah bagian dari menyelidiki, namun kemudian dia nampak enggan untuk bercerita lebih lanjut.

“Dalam operasi intelijen itu kan biasanya kita ambil, ditanyai, dan kalau bisa terus dia berkerja untuk kita. Kan begitu prosedurnya. Sudahlah, itu kesalahan teknis yang kemudian dipolitisasi.”—Prabowo

Dari kesembilan korban penculikan yang dikembalikan, tiga diantaranya—menurut Prabowo—adalah salah tangkap. Ketiga orang tersebut sekarang bergabung dengan Gerindra.

“Andi Arief dkk., itu ada dalam daftar pencarian orang (DPO), yang diberikan polisi. Yang tiga, Pius Lustrilanang, Desmond J. Mahesa, dan Haryanto Taslam, itu kecelakaan.”—Prabowo


Kecelakaan salah tangkap oleh tim Prabowo ini juga muncul di kesaksian Nazar Patria, salah satu aktivis yang diculik. Ketika disekap dan ditutup matanya, ia mendengar bahwa penculik telah mendapatkan orang yang benar dan mereka tidak salah tangkap. Ini menegaskan bahwa operasi tersebut sempat salah tangkap.

“[Dia] aktivis SMID, kita nggak salah tangkap!”.

Perlu diketahui bahwa Prabowo hanya mengaku bertanggung jawab atas penculikan 9 aktivis. Ia lupa dan tidak yakin apakah 13 aktivis yang hilang juga termasuk ke dalam daftar tersebut.

“Saya lupa [apakah orang-orang yang hilang itu ada di dalam daftar]. Mungkin tidak. Itu daftar kan kalau saya tidak salah didapat dari rumah susun Tanah Tinggi. Jadi macam-macam nama orang ada di situ.”

Namun, salah satu korban penculikan yang dikembalikan mengatakan sebaliknya. Mugiyanto, yang diculik 13 Maret 1998, mengaku bahwa selama disekap di markas Kopassus di Cijantung, ia mengetahui Herman Hendrawan ada di tempat yang sama. Hingga saat ini Herman masih hilang.

“Ketika mereka [orang-orang yang diculik] di sel, mata mereka dibuka. Jadi mereka bisa melihat, mereka bisa saling berkomunikasi dengan orang di sel sebelahnya. […]. Misalnya, Faisol Reza bisa berkomunikasi dengan orang sebelah. Orang itu nyanyi lagu Widuri. Orang itu adalah Herman Hendrawan.”—Mugiyanto

Keberadaan orang hilang di Cijantung juga diakui oleh Pius Lustrilanang. Ia juga mengaku sempat berkomunikasi dengan Herman Hendrawan, Yani Afri, dan Sonny. Dia juga mendapat informasi kalau Dedi Hamdun juga ada di tempat penyekapan. Keempat orang tersebut hingga saat ini juga masih hilang.

“Di tempat penyekapan itu, saya juga sempat berkomunikasi dengan Herman Hendrawan, Yani Afri, dan Soni. Ketiga orang ini sampai saat ini belum diketemukan. Dari mulut Yani Afri dan Soni, saya mendapat informasi bahwa Dedi Hamdun juga disekap di tempat tersebut.”

Pius kini menjadi anak buah Prabowo di Gerindra. Kedua pengakuan ini memberi kesan bahwa tim di bawah Prabowo tidak sekedar menculik 9 orang yang kemudian dikembalikan, namun juga menahan beberapa aktivis yang kemudian hilang.

Korban Penculikan Disiksa
Dari pengakuan Andi Arief, Rahardjo Waluyojati, Mugiyanto, dan Aan Rusdianto; selama proses penyelidikan mereka diperlakukan tidak manusiawi. Rahardjo sempat dipukul, disetrum, dan juga disuruh tidur di atas balok es:

“Aku dibawa ke sebuah ruangan dan seluruh pakaianku dilepas hingga telanjang bulat dan dipaksa tidur tengkurap di atas balok es selama kurang lebih 10-15 menit sambil menanyakan kepadaku bagaimana cara menemukan Andi Arief”—Rahardjo Waluyojati

Aan dan Mugiyanto juga mengalami penyiksaan dan ancaman yang serupa.

“Setrum, pukulan, todongan senjata laras panjang, memaksaku untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.”—Aan Rusdianto

“Saya dipukul di perut berkali-kali dan pada muka sampai saya terjatuh. […] Saya mulai diinterogasi dengan cara disetrum dengan alat setrum yang suaranya seperti cambuk. Penyetruman ini dilakukan pada seluruh bagian kaki saya, terutama pada bagian sendi lutut.”—Mugiyanto

Ketika Andi berhasil ditangkap, ia melihat Rahardjo dalam kondisi yang tidak menyenangkan. Hilyati, kakak perempuan Andi menjelaskan bahwa mata saudaranya ditutup dan delapan sempat pistol ditodongkan di badannya. Ia tidak bisa buang air maupun shalat. Hilyati mengatakan bahwa penculik mengancam akan membunuh Andi dengan mengatakan:

“Ajal kamu di tangan Tuhan. Tapi bisa, ajal kamu di tangan saya.”

Mengapa Prabowo melakukan tindakan itu?
Prabowo tidak memberi penjelasan mengapa dia bisa salah menafsirkan perintah sehingga tugas menyelidiki berubah menjadi penculikan. Padahal, testimoni di media menggambarkan Prabowo sebagai tentara yang berprestasi tinggi dan disiplin mengatur bawahannya. Prabowo sendiri merasa tindakan penculikan itu tidak salah secara moral karena aktivis-aktivis tersebut berniat buruk.

“Secara moral, saya tidak salah karena orang-orang itu berniat berbuat kejahatan yang bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.

Lebih lanjut, Prabowo merasa bahwa penculikan tersebut diperlukan untuk menjaga keamanan dan demokrasi:

Informasi soal rencana pengeboman itu didapat dari interogasi, bukan kita ngarang. Dapat keterangan dari mereka. […] Jadi, jangan salah, untuk menegakkan demokrasi, kita justru harus menjaga keamanan.”—Prabowo

Namun, Faisol Reza yang juga disekap bersama Andi dan Rahardjo membantah bahwa mereka akan melakukan teror. Faisol menuding isu bom justru dihembuskan oleh militer.

“Pihak militerlah yang menyebarkan isu bom […] Kami cuma korban.”—Faisol Reza

Buntut dari Penculikan Aktivis
Dewan Kehormatan Perwira (DKP) mengatakan bahwa Prabowo bersalah atas penculikan sembilan aktivis ‘98. Bahkan, DKP menyatakan Prabowo mengakui penculikan tersebut padahal tidak ada instruksi penculikan dari Panglima TNI (Tempo). Ketua Dewan Kehormatan, Jenderal Subagyo mengatakan bahwa “Prabowo salah menafsirkan perintah komando” sehingga “terjadi penculikan”. Agum Gumelar, yang juga anggota DKP, mengatakan bahwa tidak ada perintah penculikan dari atasan Prabowo:

“Perintah melakukan bawah kendali operasi (BKO) ternyata tidak ada. Dan Prabowo melakukannya [penculikan] di luar kewenangannya.”

Kemudian DKP memberi rekomendasi agar Prabowo untuk diberhentikan. Tim Gabungan Pencari Fakta yang dibentuk pasca Mei 1998 mengeluarkan rekomendasi untuk membawa Prabowo ke pengadilan militer.

Pada akhirnya, Prabowo tidak dibawa ke pengadilan militer. Ia hanya diberhentikant. Dalam pengakuannya di majalah Panji, Prabowo memilih tidak mempermasalahkan putusan itu karena tidak ingin mencemari Suharto dan TNI (dulu ABRI):

Majalah Panji: Anda tidak mau nuntut soal pemecatan itu karena tidak ingin mempermalukan Pak Harto?

Prabowo: Benar, terutama itu. Juga tak ingin mencemari institusi ABRI, khususnya TNI AD.

Adalah anak buah Prabowo, Bambang Kristiono yang maju di mahkamah militer dan mengaku sebagai dalang penculikan. Mahkamah memecat dan menghukum penjara Bambang dan keempat anggota Tim Mawar. Namun, menurut Mantan Komandan Puspom ABRI Mayjen CHK Syamsu Djalaluddin, S.H., tidak mungkin Bambang menculik tanpa komando atasan. Di artikel Tempo “Mengusut Nurani Tim Mawar” edisi 29 Desember 1998, dituliskan pendapat Syamsu:

“Logikanya, kata Syamsu lagi, tidak mungkin kesebelas anggota Kopassus itu melakukan operasi secara sendiri-sendiri, tanpa perintah komandannya, kecuali saat itu mereka adalah pasukan yang melakukan desersi.”—Tempo, “Mengusut Nurani Tim Mawar” edisi 29 Desember 1998

Syamsu menegaskan bahwa mereka tidak desersi, sehingga pasti ada komando dari atasan Bambang:

“Saat itu, mereka tidak desersi, sehingga sudah pasti ada yang memerintahkan mereka”—Syamsu Djalaluddin

Pada saat itu, atasan langsung Bambang adalah Chairawan, yang secara langsung bertanggung jawab kepada Prabowo, Danjen Kopassus.

Pasca pemecatan, Bambang Kristiono bekerja di bawah bisnis Prabowo. Dalam majalah Tempo edisi 13-19 Mei 2013, disebutkan bahwa Bambang menjabat sebagai direktur utama PT. Tribuana Antarnusa, yang merupakan anak perusahaan bisnis Prabowo. Sebelumnya, dalam pemberitaan ABC News Australia tentang Prabowo pada tahun 2009, Bambang Kristiono disebut sebagai tangan kanan Prabowo.

Prabowo memang dikenal sering memperkerjakan mantan anak buahnya. Darmanto, salah satu anak buah Prabowo menceritakan ketegasan dan juga kepedulian atasannya terhadap bawahannya:

“Pak Prabowo sangat tegas, disiplin dan keras jika ada anak buahnya yang salah […] Pak Prabowo selalu memikirkan kesejahteraan bawahannya”—Darmanto

Prabowo yang dikenal keras terhadap bawahan yang lalai, nampak tidak bersikap keras terhadap Bambang Kristiono. Setelah dipecat oleh ABRI, Bambang kini menjadi orang kepercayaan Prabowo.

Apakah artinya?
Pengakuan-pengakuan di atas menggambarkan bahwa Prabowo terlibat dalam penculikan aktivis. Prabowo mengaku 9 aktivis yang diculik telah dibebaskan, tapi dia nampak tidak tahu menahu soal 13 aktivis yang hilang dan 1 yang ditemukan tewas. Namun, pengakuan Pius dan Mugianto menandakan bahwa sejumlah aktivis yang hilang ada kaitannya dengan operasi di bawah Prabowo.

Apakah penculikan tersebut dapat dibenarkan? Bagi Prabowo, orang-orang di dalam daftar itu membawa ancaman teror, sehingga secara moral tindakan penculikan itu benar. Tuduhan tersebut dibantah oleh Faizol Reza. Menurut Faizol, ancaman teror itu hanyalah rekayasa militer.

Penculikan itu sendiri bertentangan dengan Statuta Roma Mahkamah Kriminal Internasional. Statuta tersebut menggolongkan penghilangan paksa—penculikan—sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Korban penghilangan paksa biasanya diculik, ditahan tanpa perintah pengadilan, dan disiksa selama interogasi. Beberapa dibunuh dan jenazahnya dibuang sehingga tidak dapat diketemukan. Walaupun operasi penghilangkan paksa kadang bertujuan untuk menjaga keamanan, pada akhirnya operasi semacam itu melindungi HAM dengan melanggar HAM. Pius Lustrilanang disetrum dan dibenamkan ke air, padahal dia hanyalah korban salah culik. Operasi semacam ini juga tidak cocok untuk negara demokrasi karena memberangus lawan politik dan menciptakan perasaan ketidakpastian dan ketakutan pada masyarakat luas.

Bagaimana menurut saya?
Dari pengakuan Prabowo, operasi penculikan ini diketahui oleh elit TNI di atasnya. Akan tetapi, tidak cukup petunjuk yang mengarah ke situ. Jika dugaan tersebut benar, maka Prabowo bukan satu-satunya petinggi TNI yang terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan ini. Namun tidak berarti bahwa Prabowo lepas dari kesalahan, karena dia bisa menolak operasi tersebut atas alasan kemanusiaan. Ada kesan bahwa dalam situasi konflik nilai, Prabowo tidak mengutamakan aspek kemanusiaan.

Ini menggambarkan Prabowo sebagai sosok yang lebih kompleks dan tidak lagi hitam putih. Di satu sisi ia acapkali menggambarkan kecintaannya terhadap Indonesia. Di lain sisi ia merasa kejahatan terhadap kemanusiaan pada orang-orang Indonesia adalah tindakan bermoral. Kita sering mendengar bahwa sebagai perwira TNI ia pemimpin yang brilian dan berdisiplin tinggi, namun dalam tekanan situasi reformasi ‘98, kita mengetahui tim di bawah kendalinya bisa bergerak di luar kendali dan melakukan tindakan yang jahat dan tidak manusiawi.

Oleh karena pandangannya yang kontroversial terhadap penculikan, rencana Prabowo menjadi presiden menjadi problematik karena membuka sebuah pertanyaan: apakah dalam pemerintahannya Prabowo akan merestui penculikan dan penganiayaan terhadap warga negara Indonesia? Lebih lanjut, ia dan timsesnya harus menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti:

Mengapa kelalaian penculikan oleh Tim Mawar bisa terjadi pada sebuah organisasi militer yang biasanya punya rantai komando yang kuat? Bagaimana Prabowo bisa mengantisipasi masalah yang sama dalam pemerintahan sipil yang relatif lebih egaliter?

Prabowo yang memilih diam daripada mencemari Suharto dan TNI membuka rasa penasaran apakah Prabowo akan memprioritaskan korps dan keluarganya di atas kepentingan rakyat banyak?

Diskusi tentang Prabowo memang sebaiknya lebih fokus ke karakter dan nilai-nilai kemanusiaannya terutama jika kita hendak memilihnya Menjadi Seorang Pemimpin

0 komentar:

Custom Search